Sebuah Afirmasi

destiani.
2 min readApr 2, 2021

Selamat petang.

Dalam beberapa bulan ke belakang, selama alpa menuahkan kata di sini, kutempuh perjalanan yang sangat berharga, lima bulan yang terasa sangat panjang, dan entah hingga kapan ini semua akhirnya bisa ditaklukan dengan gagah.

Rasanya membahagiakan (dan menenangkan) di satu waktu. Tapi kemudian rasanya seperti ingin memuntahkan semuanya yang ada di dalam perut, secara literal, bukan karena masalah pencernaan, melainkan mabuk dengan apa pun yang ada di kepala─ menyadari bahwa di dalam kepala ini tidak pernah berhenti barang sejenak untuk diam, tenang seperti ombak halus di tepi pantai, tapi selalu riuh seperti ombak raksasa yang disertai badai dan petir yang bersahutan. Entah apa yang diteriakkan.

Kadang sadar atas kontrol diri, kadang tidak. Dan lebih banyak tidaknya. Tidak apa-apa. Katanya, proses penyembuhan memanglah tidak pernah berjalan mulus. Seorang pejuang perlu terus bersabar atas dirinya sendiri dengan penindasan yang terus terjadi selama berabad-abad hingga akhirnya bisa mengambil alih kekuasaan dan menjadi pemimpin yang bijak, untuk dirinya sendiri, juga orang-orang di sekitarnya.

Kencangkan otot kesadaran melalui bernapas.

Hembusan pertama.

Orang-orang di sekelilingku memanglah berharga. Tidaklah aku menjadi aku, jika bukan karena turut serta segala pahit manis yang mereka beri. Tapi tidak selalu aku perlu mengkhawatirkan mereka, terlebih jika diriku sendiri masih butuh pertolongan. Sebelum bisa menolong orang lain secara konstan, menolong diri sendiri memiliki tingkat urgensi yang jauh lebih konkret. Sadar akan hal ini: Oftentimes, and it’s been long enough to stop, I took myself for granted. Sadar. Tubuhku, serta jiwa, raga, pikiran, dan perasaan, selalu hadir dan mereka ada untuk diakui. Dengarkan. Berhenti, sadari, dan dengarkan mereka.

Hembusan kedua.

Aku sudah bukan kanak lagi. Sudah memiliki kewajiban, tanggung jawab untuk berlaku apa yang memang orang dewasa seharusnya lakukan. Menghabiskan waktu secara sia-sia dan membiarkan hari berganti begitu saja tanpa menghasilkan apa-apa, bukanlah hidup yang aku mau.

Hembusan ketiga.

Baik-baik sama diri sendiri, Din. Berjuang terus, untuk diri kamu sendiri yang utama. Tapi jangan lupa untuk mengasihi diri. Masih dua puluh lima tahun dan kamu mengalami banyak hal bukan sesuatu yang bisa kamu anggap “biasa, lika-liku perjalanan memang seperti ini.” Kamu perempuan hebat dan kuat, sudah bisa melangkah dan bertahan sejauh ini. Terima kasih, ya?

Bandung, 2 April 2021

--

--

destiani.

dive in to the thoughts i drown into; a place for me to have a deeper connection with myself.